R.A.A Wiranatakusumah "Raja Sunda" Terakhir
Pengantar Redaksi
Dalam rangka menyambut peringatan dua abad Bandung, Harian Umum Pikiran Rakyat akan mengangkat tokoh-tokoh yang berjasa kepada kota kembang ini, juga peristiwa-peristiwa besar selama dua ratus tahun Bandung berdiri. Kali ini diawali dengan serangkaian tulisan tentang R.A.A. Wiranatakusumah V, salah seorang bupati yang banyak berjasa bagi kemajuan Bandung. Wiranatakusumah lahir pada 1888 dan wafat pada 22 Januari 1965. Selamat membaca.
"Tuan-tuan, meskipun perhimpunan kita baru bekerja tiga tahun lamanya, tetapi boleh dikatakan bahwa telah banyak diperolehkannya. Banyaknya lid-lid kita sekarang kurang lebih 6.000, 'orgaan' kita mempunyai 'oplaag' 6.500, 'begrooting' kita sekarang sudah sebanyak lebih dari ƒ30.000. Dalam tahun ini tambah 'afdeelingen' baru, menjadi jumlah 'afdeelingen' yang sudah ada 73 di Jawa dan Madura, 7 di Sumatera, dan 1 di Borneo, jumlah 81 'afdeelingen'."
Kutipan di atas adalah bagian dari pidato pengantar R.A.A Wiranatakusumah dalam pertemuan tahunan Perhimpunan Pegawai Bestuur Pribumi (PPBB) di Jakarta, 8-11 Oktober 1932. Catatan itu menunjukkan capaian luar biasa PPBB dalam tiga tahun masa kerjanya. Selain anggota yang berjumlah enam ribu, pegawai seluruh Hindia Belanda itu disambungkan dengan majalah bulanan Pemimpin yang oplahnya mencapai 6.500 eksemplar. Tahun 1932 juga ditandai dengan bertambahnya delapan kabupaten baru, dari 73 menjadi 81 kabupaten.
Jika saat itu sudah ada lembaga survei, dengan jabatan sebagai Ketua Umum PPBB, Wiranatakusumah boleh disebut sebagai tokoh pribumi paling berpengaruh di seluruh Hindia Belanda. PPBB ini murni aspirasi yang lahir dari rasa nasionalisme para priayi. Wiranatakusumah menginisiasi lembaga tersebut melalui sejumlah pertemuan Prijaji Bond. Sejak lembaga itu didirikan pada 1929, ia menjadi voorzitter hoofd bestuur (ketua umum) hingga 1935, didampingi sekretaris kepercayaannya Soetardjo Kartohadikoesoemo.
Pada pertemuan tahun 1932 tersebut, PPBB membahas peningkatan pendidikan bagi para pegawai dan akselerasi pembangunan desa. Pendidikan pegawai dibutuhkan karena aturan administrasi mengharuskan adanya laporan tertulis, sementara masih banyak pegawai yang buta huruf. Dalam bahasan pembangunan desa bahkan terlontar wacana otonomi desa. Hal itu muncul karena banyak aturan yang dianggap tumpang-tindih dengan kebutuhan desa, misalnya soal gaji kepala desa. Tanpa menafikan realitas adanya penjajahan Belanda, Wiranatakusumah memimpin PPBB agar semua pegawai melakukan yang terbaik bagi rakyat.
Kepemimpinannya diakui oleh para anggota PPBB. Di akhir pertemuan tahunan itu, peserta bernama Soemadi menyatakan, "… atas nama afgevaardigden (anggota) saya mengaturkan banyak terima kasih atas pendidikan Tuan Voorzitter, yang sudah menuntun ini vergadering (pertemuan) sampai mendapat resultaat (hasil) yang menyenangkan kepada semua. Saya minta kepada afgevaardigden menyerukan tiga kali" Hiduplah Wiranatakusuma!"
Nasionalis sejati
Tak diragukan, Wiranatakusumah adalah seorang nasionalis. Seperti dinyatakannya dalam Pandji Poestaka (1931), "… Saya selalu melawan peraturan yang menurut pendapat saya tak baik bagi rakyat saya, meskipun hal itu akan menyebabkan saya terpecat dari jabatan saya. Saya seorang nasionalis dan hal itu harus saya tunjukkan. Orang takkan dapat memaksa saya menghambat atau melawan pergerakan bumiputra yang baik."
Dalam kebijakan majalah Pemimpin misalnya, sebagai penanggung jawab ia menunjukkan nasionalisme itu lewat penggunaan bahasa Melayu. Selama kepemimpinan Wiranatakusumah, jarang sekali ditemui artikel atau tulisan berbahasa Belanda. Begitu pula pemberitaan lebih banyak mengangkat isu-isu lokal, yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan pembacanya. Hal yang berbeda sekali tampak ketika ia berhenti mengelola majalah ini, sekalipun awak redaksinya tetap. Pemimpin Edisi Nomor 12, Juni 1935, saat ia mulai berhenti, langsung berubah kebijakan. Majalah tersebut mulai banyak memuat berita-berita asing dan foto-foto artis. Bahkan, ada halaman khusus berbahasa Belanda (Hollads Pagina).
Di luar kedudukannya sebagai bupati dan pengurus PPBB, Wiranatakusumah banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Ia tak segan-segan membantu dan menyantuni kehidupan anak-anak muda yang potensial, seperti terhadap Soekarno yang pada 1920-an sedang kuliah di THS Bandung. Wiranatakusumah melihat pemuda Soekarno mempunyai bakat kepemimpinan yang kuat. Di antara dua tokoh ini lalu terjalin hubungan yang dekat. Wiranatakusumah misalnya menjadi saksi perkawinan Soekarno dengan Inggit Garnasih.
Pada 1925, menjelang Soekarno lulus THS, Wiranatakusumah memesan rancangan Masjid Agung Bandung yang akan dipugar. Didampingi mentornya Prof. Schoemaker, Soekarno merampungkan rancangan masjid yang akan diberi nama Quwwatul Islam itu. Sayang, karena berbagai halangan, mesjid itu urung menggunakan rancangan yang megah tersebut.
Begitu pula saat ia diminta jadi Wali Negara Pasundan. Ia bersedia menduduki jabatan itu atas nama kepentingan Republik Indonesia. Ia bisa saja menolak karena waktu itu ia menjabat Ketua DPA dan Penasihat Menteri Dalam Negeri RI yang berkedudukan di Yogyakarta. Namun, kecintaannya pada rakyat Sunda, membuatnya luluh. Apalagi Presiden Soekarno menyatakan, "Langkung sae Akang bae tibatan urang NICA anu jadi." Tercatat dalam sejarah, Wiranatakusumahlah yang pertama kali bergabung kembali dengan NKRI setelah Negara Pasundan dibubarkan, karena ia pada dasarnya menjabat untuk kepentingan republik.
Bahwa setelah itu ia tidak lagi mendapatkan kedudukan yang selayaknya, karena digeneralisasikan sebagai bagian dari "kelompok separatis", itulah realitas politik yang pahit bagi tokoh-tokoh Sunda. Alih-alih mendapatkan balas budi, tokoh-tokoh prorepublik yang bergabung dalam Negara Pasundan malah dipersulit ikut terlibat dalam pemerintahan NKRI. Dari sinilah populer istilah sokong jongklok, awalnya tampak mendukung tapi akhirnya menjerumuskan. Kekecewaan atas perlakuan seperti ini, ditambah lagi dengan kurangnya perhatian pemerintah atas tewasnya Oto Iskandar di Nata di tangan penculiknya, melahirkan Seruan Pengurus Pusat Front Pemuda Sunda Nomor 0013/A-0/1956. Bahwa telah terjadi "imperialisme Jawa" dengan cara menyingkirkan tokoh-tokoh Sunda yang militan dari jabatan-jabatan strategis di tingkat nasional.
"Raja Sunda" terakhir
Jika dilihat dari sisi sebagai orang Sunda, Wiranatakusumah adalah tokoh dengan jabatan tertinggi yang bisa diraih pribumi, baik secara struktural (bupati) maupun kultural (PPBB). Apalagi, selain itu, ia juga pernah menjabat Ketua Sedio Moelio, asosiasi bupati se-Hindia Belanda. Ditambah kedudukannya sebagai pendiri dan penasihat dalam berbagai kelompok kebudayaan, bukan mengada-ada jika Wiranatakusumah disebut sebagai "Siliwangi" modern. Dia bahkan mempunyai pengaruh yang lebih luas, menjangkau seluruh wilayah nusantara, tanpa kehilangan segala atribut kesundaannya. Rasanya tak berlebihan jika ia dijuluki "Raja Sunda" terakhir.
Setelah Wiranatakusumah, tak ada lagi tokoh Sunda yang memiliki pengaruh sekuat dirinya. Memang banyak orang Sunda yang tampil di pentas Jawa Barat atau nasional, tetapi kurang berakar di tengah masyarakatnya sendiri. Kebanyakan mereka "terpelanting" ke pusat-pusat kekuasaan karena faktor kedekatan dengan penguasa.
Apakah Wiranatakusumah layak menjadi pahlawan nasional? Ah, biarlah hal itu jadi diskursus bagi para sejarawan dan Badan Pembinaan Pahlawan Daerah saja. Bagi nonoman Sunda yang melek, Wiranatakusumah sudah menjadi pahlawan. Pengakuan negara hanyalah legitimasi administratif yang tidak perlu diminta-minta. Biarkanlah waktu yang akan mengujinya. Sebab, sebagaimana dikatakan Wiranatakusumah ketika menolak anugerah bintang pada 1948, "Belum pantas saya menerima bintang. Negara itu bukanlah saya, akan tetapi negara itu rakyat. Maka dalam tahun-tahun yang terakhir dari umur saya ini, saya akan bekerja lebih keras, menjelmakan cita-cita, tekad mengangkat rakyat ini dari kemiskinan dan kesengsaraan." (Iip D. Yahya, dari berbagai sumber) ***
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=130078
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar