Kamis, 04 November 2010

Seni Kuda Renggong Dalam Masyarakat Sumedang

 

Kuda renggong ayeuna laguna mobil butut, talak tilu  jeung sajabana, pokona mah anu keur in disebutna lagu bangreng.

Sok ningalikeun ngalatih suku kuda sangkan leumpangna jadi acred acredan nyaeta bari ditungtun titukang terus sukuna ku dirintangan ku cocolek/iteuk.

 

Baheula ngaran kuda renggong anu tenar nyaeta si dinar

 

Masyarakat jawa barat, terutama kabupaten sumedang, mengenal yang namanya kesenian kuda renggong dalam kehidupan keseharian masyarakatnya. Kuda renggong merupakan salah satu seni pertunjukan rakyat. Kata renggong di dalam kesenian ini merupakan metatesis dari kata ronggeng, yaitu kamonesan (bahasa Sunda untuk "keterampilan") cara berjalan kuda yang telah dilatih untuk menari mengikuti irama musik, terutama kendang, yang biasanya dipakai sebagai media tunggangan dalam arak-arakan anak sunat.

Berdasarkan literatur sejarah, lahirnya kesenian kuda renggong di Kabupaten Sumedang mulai muncul sekitar tahun 1910. Awalnya, Pangeran Aria Suriaatmaja yang memerintah Kabupaten Sumedang selama 37 tahun (1882-1919) berusaha untuk memajukan bidang peternakan. Pangeran Suriaatmaja sengaja mendatangkan bibit kuda unggul dari Pulau Sumba dan Sumbawa. Selain digunakan sebagai alat transportasi bangsawan, pada masa tersebut kuda juga sering difungsikan sebagai pacuan kuda dan alat hiburan.

Mulai tahun 1910 hingga sekarang, kuda renggong secara tradisional sering dipertontonkan pada acara khitan/sunatan. Sebelum seorang anak dikhitan, sang anak diarak mengelilingi kota di atas punggung kuda renggong diikuti oleh anggota keluarga dan kerabat dekat yang ikut menari di depanya dan berkeliling dari satu desa ke desa lainya. Lalu dengan berpakaian wayang tokoh Gatotkaca, dinaikkan ke atas kuda renggong lalu diarak meninggalkan rumahnya berkeliling mengelilingi desa. Musik pengiring dengan penuh semangat mengiringi sambung-menyambung dengan tembang-tembang yang dipilih, antara lain Kaleked, Mojang Geulis, Rayak-rayak, Ole-ole Bandung, Kembang Beureum.

Sepanjang jalan, kuda renggong bergerak menari dikelilingi oleh sejumlah orang yang terdiri atas anak-anak dan remaja desa, bahkan orang-orang tua yang mengikuti irama musik. Setelah berkeliling desa, rombongan kuda renggong kembali ke rumah anak sunat, biasanya diiringi dengan lagu "Pileuleuyan" (perpisahan). Ketika anak sunat selesai diturunkan dari kuda renggong, biasanya dilanjutkan dengan acara saweran (menaburkan uang logam dan beras putih) yang menjadi acara yang ditunggu-tunggu, terutama oleh anak-anak desa.

Menurut Euis Suhaenah, dosen tari STSI Bandung, kesenian kuda renggong menjadi kesenian yang sarat akan nilai filosofis. Mengajak kuda merayakan bersama pesta untuk mengantarkan seorang anak ke gerbang kedewasaannya. Doa dipanjatkan melalui lagu anak berpakaian Gatotkaca, seorang ksatria yang gagah berani mati untuk negara dan sangat patuh pada orang tua. Ada satu kuda dikosongkan untuk tunggangan para karuhun (nenek moyang atau sesepuh) yang telah tiada untuk ikut serta mengantar sang anak menuju gerbang kedewasaan dan mengemban tanggung jawab yang lebih besar.

Di sisi lain, para seniman mengungkapkan semangat yang disampaikan kesenian kuda renggong merupakan rangkaian upacara inisiasi (pendewasaan) dari seorang anak laki-laki yang disunat. Kekuatan kuda renggong yang tampil akan membekas di sanubari anak sunat, juga pemakaian kostum tokoh wayang Gatotkaca yang dikenal sebagai figur pahlawan.

Dalam perkembangannya, kesenian kuda renggong terus mengalami perkembangan, sumedang sebagai salah satu simbol kesenian kuda renggong pun tak juga lepas dari pengaruh tersebut. salah satu yang paling disorot adalah iringan lagu dalam pementasaan, pada substansinya penggunanan lagu iringan tersebut merupakan sekaligus panjatan doa kepada Sang Pencipta, tetapi pada masa kini pementasaan kuda rengggong tak jarang menggunakan lagu-lagu yang jauh dari makna doa itu sendiri. Akan tetapi, kuda renggong sebagai salah satu simbol daerah Sumedang tentunya patut terus dijaga kemurniaannya sebagai salah satu warisan kesenian leluhur yang sarat dengan makna filosofis kepada Sang Pencipta. (Ardinanda, mahasiswa Unpad)***

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=162770

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar