Selasa, 19 Oktober 2010

Mendidik 1,3 Milyar Manusia (belajar dari Cina)

Mendidik 1,3 Milyar Manusia

SUARA

PEMBARUAN DAILY

Ratna Megawangi

MINGGU lalu penulis sempat mengunjungi

Lapangan Tiananmen di Beijing. Tempat tersebut memang amat terkenal, karena

sempat menjadi perhatian di seluruh dunia ketika terjadi protes mahasiswa

terbesar di Republik Rakyat Cina pada Juni 1989. Katanya tempat tersebut
selalu

ramai, bahkan kalau hari-hari libur sulit bagi kita untuk melihat lantainya

karena begitu banyaknya manusia.

Banyak sekali objek menarik yang dapat

kita kunjungi di sana, misalnya Mausoleum Mao Tse Tung yang jasadnya masih

terlihat segar terbujur, monumen bersejarah, People's House, museum, dan

Forbidden City (istana yang dibangun lebih 500 tahun yang

lalu).

Namun, ada satu hal yang membuat penulis kagum, yaitu dengan

puluhan ribu orang yang berlalu-lalang di tempat yang begitu luas, tidak ada


satu pun sampah yang bergeletak di sana. Di seluruh tempat keramaian yang

penulis kunjungi di Beijing, tidak sekali pun dapat menemukan sampah
tergeletak

di jalan. Padahal, manusianya begitu banyak, dan masih banyak penduduk yang

miskin.

Di Indonesia, di tempat-tempat keramaian pasti identik dengan

sampah berserakan. Penulis pernah saksikan di sebuah ruangan seminar di
Jakarta

yang dihadiri para guru yang jumlahnya tidak sampai 100 orang. Setelah
seminar

berakhir, lantai ruangan penuh berserakan kotak-kotak snack, gelas air minum


kemasan, dan plastik. Bayangkan, di sebuah ruang kecil yang dihadiri para
guru

yang kerjanya mendidik manusia, tetapi sudah bisa mengotori sebuah

ruangan!

Penulis jadi tertarik untuk mengetahui, mengapa negara Cina yang

relatif baru bangkit dari keterpurukan ekonomi, sosial, dan budaya akibat

Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao, bisa begitu cepat mengejar

ketertinggalannya? Padahal, pada akhir 1970-an, kita masih melihat bagaimana


miskinnya rakyat Cina yang masih memakai baju hitam atau abu-abu. Terus
terang,

tidak terasakan adanya perbedaan yang menyolok antara ketika penulis sedang
di

Beijing, dan di Tokyo, Seoul, Hong Kong, ataupun Singapura.

Kebetulan,

ketika sedang transit di Bandara Changi Singapura dalam perjalanan ke
Beijing,

penulis sempat mencari buku tentang sejarah Cina, dan menemukan sebuah buku
yang

ditulis oleh Li Lanqing (mantan Wakil PM Cina), berjudul Education for 1.3

Billion (Pearson Education and China: Foreign Language Teaching &

Research Press, 2005). Setelah membaca buku tersebut, bisa dimengerti

mengapa Cina bisa begitu cepat maju, karena reformasi pendidikan yang
dijalankan

di Cina tampaknya berhasil membentuk SDM yang memang cocok untuk iklim

modern.

Terus terang, cukup surprised membaca pemikiran Li Lanqing,

seorang politikus dan birokrat, tetapi anehnya mempunyai pemahaman yang

komprehensif dan mendalam tentang pendidikan. Semua kebijakan yang
diambilnya

dalam mereformasi pendidikan di Cina, diinspirasikan oleh berbagai buku yang


dibacanya, misalnya, ia menguasai bagaimana perkembangan hasil riset otak
dari

sejak tahun 1950-an sampai tahun 1990-an, sehingga ia mengerti bahayanya

sistem pendidikan yang terlalu menekankan hapalan, drilling, dan cara
mengajar

yang kaku, termasuk sistem pendidikan yang berorientasi hanya untuk lulus
dalam

ujian.

Ia juga terinspirasi pemikiran Howard Gardner tentang multiple

intelligences, yang ia baca buku-bukunya sejak Frames of Minds (1983). Li

Lanqing begitu antusias untuk menerapkan berbagai teori mutakhir ke dalam
sistem

pendidikan di Cina, dan menurutnya: "I am interested in it because I want to


call the attention of our educators and scientists ....so that education in
this

nation can be made to enhance people's all-round development and tap the

potential of human resources to the fullest measure" (hal 316-317). Namun,

Li Lanqing juga masih membawa nilai-nilai luhur Cina ke dalam reformasi

pendidikannya.

Pendidikan Karakter

Dalam program reformasi pendidikan yang diinginkan oleh Deng Xiaoping pada

tahun 1985, secara eksplisit diungkapkan tentang pentingnya pendidikan
karakter:

Throughout the reform of the education system, it is imperative to bear in

mind that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen
into a

man or woman of character and cultivating more constructive members of
society

(Decisions of Reform of the Education System, 1985). Karena itu

program pendidikan karakter telah menjadi kegiatan yang menonjol di Cina
yang

dijalankan sejak jenjang pra-sekolah sampai universitas.

Tentunya,

pendidikan karakter adalah berbeda secara konsep dan metodologi dengan

pendidikan moral, seperti PPKN, budi pekerti, atau bahkan pendidikan agama
di

Indonesia. Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses

knowing the good, loving the good, and acting the good, yaitu proses

pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak


mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and

hands.

Sedangkan pendidikan moral, misalnya PPKN dan pelajaran agama,

adalah hanya melibatkan aspek kognitif (hapalan), tanpa ada apresiasi
(emosi),

dan praktik. Sehingga jangan heran kalau banyak manusia Indonesia yang hapal


isi Pancasila atau ayat-ayat kitab suci, tetapi tidak tahu bagaimana
membuang

sampah yang benar, berlaku jujur, beretos kerja tinggi, dan menjalin
hubungan

harmonis dengan sesama.

Kebijakan reformasi pendidikan ke arah

pembentukan karakter memang terus mendapat dukungan secara eksplisit oleh

Presiden Jiang Zemin, yaitu melalui pidato-pidatonya. Sehingga, seperti yang


diungkapkan oleh Li Lanqing: "After many years of practice, character

education has become the consensus of educators and people from all walks of


life across this nation. It is being advanced in a comprehensive way".

Pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek dimensi manusia,

sehingga tidak cocok dengan sistem pendidikan yang terlalu menekankan
hapalan

dan orientasi untuk lulus ujian (kognitif). Hampir semua pemimpin di Cina,
dari

Jiang Zemin, Li Peng, Zhu Rongji sampai Hu Jianto dan lainnya, sangat

prihatin dengan sistem pendidikan yang terlalu menekankan aspek kognitif
saja,

yang dianggap dapat "membunuh" karakter anak, misalnya PR yang terlalu
banyak,

pelajaran yang terlalu berat, orientasi hapalan dan drilling, yang semuanya

dapat membebani siswa secara fisik, mental, dan jiwa (hal

336).

Bahkan pada tanggal 1 Februari, 2000, Presiden Jiang Zemin

mengumpulkan semua anggota Politburo khusus untuk membahas bagaimana
mengurangi

beban pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikan yang patut secara
umur

dan menyenangkan, dan pengembangan seluruh aspek dimensi manusia; aspek
kognitif

(intelektual), karakter, aestetika, dan fisik (atletik).

Walaupun masih

belum sempurna, dengan ideologi komunisnya, tampaknya Cina ingin menunjukkan


"wajah" yang berbeda dari negara komunis lainnya. Mungkin Cina bisa
mewujudkan

impian para pemikir sosialis yang berseberangan dengan pemikiran Karl Marx,

seperti Proudhon dan Robert Owen, bahwa kesadaran moral sosialis sejati
harus

menjadi alat untuk mencapai tujuan akhir ideologi sosialisme, dan praksisnya


adalah bagaimana menyiapkan manusia untuk mempunyai karakter seorang
sosialis

sejati (persaudaraan antarmanusia; saling peduli, dan berkeadilan). Karl
Marx

justru tidak setuju dengan pemikiran itu, karena kesadaran moral sosialis

baginya adalah hanya tujuan akhir, dan praksisnya adalah perubahan struktur

masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dengan pemaksaan atau kediktatoran

(bertentangan dengan moral sosialis sejati)--- the end justifies the

means.

Kekuatan Dahsyat

Apabila Cina bisa berhasil mendidik 1,3 miliar manusianya menjadi manusia

yang berkarakter (rajin, jujur, peduli, dan sebagainya), maka jumlah
penduduk

sebesar itu akan menjadi kekuatan yang amat dahsyat bagi kemajuan Cina.
Inilah

yang membuat para pakar Amerika Serikat deg-degan, seperti kata Bill Bonner
yang

mengkhawatirkan kondisi AS di masa depan: "Bisa dibayangkan dalam waktu 20
atau

30 tahun ke depan, mungkin akan banyak orang Amerika yang mencari pekerjaan

sebagai baby sitter di Cina."

Nah, apabila Cina bisa melakukan pendidikan

karakter untuk 1,3 miliar manusianya, Indonesia tentunya bisa melakukannya.

Namun, gaung pendidikan karakter belum banyak terdengar dari para pemimpin
kita.

Tentunya, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, kita semua bisa

melakukannya di lingkungan terkecil kita; keluarga dan sekolah.

 

[Non-text portions of this message have been removed]

[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

Web Address http://groups.yahoo.com/group/kahmi_pro_network/

MAKLUMAT:

1. MILIS INI TIDAK MENERIMA SEGALA BENTUK ATTACHMENT.
2. AGAR MENULISKAN NAMA ASLI (PANGGILAN ATAU NAMA LENGKAP).
3. TIDAK MENGUMBAR PERMUSUHAN DAN/ATAU MENGGUNAKAN KATA-KATA KASAR.
dan
4. TIDAK MENYERTAKAN POSTING SEBELUMNYA ATAU YANG DITANGGAPI SECARA
KESELURUHAN, CUKUP EMAIL BAGIAN/PARAGRAF YANG INGIN DITANGGAPI.Yahoo!
Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/kahmi_pro_network/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/kahmi_pro_network/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
kahmi_pro_network-digest@yahoogroups.com
kahmi_pro_network-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
kahmi_pro_network-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar