Kamis, 21 Oktober 2010

Bai Fang Li, Tukang Becak Penyumbang Ratusan Juta untuk Yatim Piatu

From: Risargati Date: Thursday, October 21, 2010, 4:46 PM

Luar Biasa ………

 

Bai Fang Li, Tukang Becak Penyumbang
Ratusan Juta untuk Yatim Piatu

 

Namanya BAI
FANG LI. Pekerjaannya adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya
dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi
jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana saja pelanggannya
menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.

Tubuhnya
tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau
orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk
bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk bersekutu
dengan Tuhan. Dia melalang dijalanan, di atas becaknya untuk mengantar para
pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.

    

Para
pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan
senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang
harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang
menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat
bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang
ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran
berusaha mengayuh becak tuanya.

 

Bai Fang Li
tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang
tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan
pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara
harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua
yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan
tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.

 

Gubuk itu
hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya
beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, diruang
itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya
dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring
seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana biasa ia makan,
ada sebuah tempat minum dari kaleng. Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu
templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di
gubuk tua itu bila malam telah menjelang.

 

Bai Fang Li
tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang.
Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia
tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya
yang murah hati dan suka menolong.Tangannya sangat ringan menolong orang yang
membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan
pujian atau balasan.

 

Dari
penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu
untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli
pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan
sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia
tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya
kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300
anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak
yatim piatu melalui sekolah yang ada.

 

Kejadian yang
Mulai Merubah Pandangan Hidupnya

Bai Fang Li
mulai tersentuh untuk menyumbang yayasan itu ketika usianya menginjak 74 tahun.

Hatinya sangat
tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang
pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun
yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru
berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat
dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan
kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa
uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit
bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang
diperolehnya hari itu.

 

Beberapa kali
ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan
menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ketempat
sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor,
ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya
dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.

 

Hati Bai Fang
Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya
dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk
dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila
hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana. "Uang yang saya dapat untuk
makan adik-adik saya...." jawab anak itu. "Orang tuamu dimana...?"
tanya Bai Fang Li.

"Saya
tidak tahu...., ayah ibu saya pemulung.... Tapi sejak sebulan lalu setelah
mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja
untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil..."
sahut anak itu.

 

Bai Fang Li
minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming
itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak
perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan
sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.

 

Bai Fang Li
tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan
situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang
mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk
mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja
mereka kesulitan.

 

Bai Fang Li
kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim
piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa
ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak
miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan
mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.

 

Sejak saat
itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6
pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan
seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan pembeli dua
potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir
telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu
itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

 

Ia merasa
sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan
keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung
mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat
pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang
berbeda warna. Mhmmm... tapi masih cukup bagus... gumannya senang.

 

Bai Fang Li
mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang
silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam
panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.

 

"Tidak
apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat
makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua
ini...," katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban
demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.

 

Dalam Memberi,
Bai Fang Li Tak Pernah Menuntut Apapun

Bai Fang Li
memulai menyumbang yayasan itu pada tahun 1986. Ia tak pernah menuntut apa-apa
dari yayasan tersebut. Ia tak tahu pula siapa saja anak yang mendapatkan
manfaat dari uang sumbangannya.

 

Hari demi
hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang
Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada
yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan
tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya
dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.

Bai Fang Li
berkata "Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat
menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya
sumbangkan......" katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu
menangis........

 

Bai Fang Li
wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia
telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 (kurs 1300,
setara 455 juta rupiah, jika tidak salah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim
piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak
miskin.

Foto terakhir
yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan "Sebuah
Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luarbiasa".

 

Bila SESEORANG
yang miskin menyumbang dari kekurangannya, maka ia adalah salah satu PENGHUNI
SURGA yang diutus ke dunia, yang mengajarkan kita untuk selalu BERSYUKUR dan
selalu BERBAGI kepada sesama.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar