ANGGUR EMAS
Karya: Usdek Emka J.S.
[58]
"Bedebah. Akan kurobek mulutmu yang kotor itu."
Dengan jurus cakar harimau perwira itu menyerang leher dan wajah Raden
Pekik. Yang diserang merunduk, ganti mengirim tendangan ke perut lawannya.
Perwira Mataram yang sejak semula hanya memandang lawannya sebelah mata kini
terkejut. Ia tak menyangka bocah itu dapat bergerak begitu cepat. "Pemuda
ini tampaknya berilmu," bisiknya dalam hati, "aku tak perlu segan-segan lagi
menghadapinya." Demikian ketetapan hati perwira Mataram itu. Setelah
memutuskan demikian, perwira Mataram itu mengubah cara menyerangnya. Ia tak
lagi mengandalkan jurus tangan kosong tak berisi, tapi ia melambari
seranganya dengan tenaga dalam. Dengan berjingkat cepat, ia sarangkan
pukulan jarak jauh ke tubuh lawan. Pukulan itu datang bertubi-tubi terus
mengejar kemana pun Raden Pekik bergerak.
Sejauh ini memang belum ada pukulan yang sempat mengenai sasaran meskipun
Raden Pekik tampak terdesak. Sejak perwira Mataram itu mengubah cara
bertempurnya, tak sekalipun bocah ingusan itu mampu menyerang balik. Ia
hanya bisa menghindar dan bertahan. Ia sama sekali tak bisa mendekati
perwira itu. Pukulan jarak jauhnya menghambat gerakan Raden Pekik. Pukulan
itu mengandung tenaga dalam yang sangat kuat. Untuk bisa mendekati lawannya,
Raden Pekik harus mengeluarkan tenaga yang sangat besar untuk meredam
pukulan-pukulan itu. Tapi, pemuda itu tak ingin menguras tenaganya. Alasan
sangat sederhana. Ia belum tahu seberapa tinggi ilmu perwira itu. Ia juga
tidak tahu berapa lama mereka akan bertempur.
Melihat lawannya tampak kerepotan, perwira Mataram itu semakin bernafsu.
Setelah mengirim pukulan jarak jauh bertubi-tubi, perwira itu mendesak Raden
Pekik dengan tendangan geledeknya. Tak ayal lagi, pemuda itu semakin
tersudut. Kini ia tak bisa lagi mengandalkan kecepatan geraknya. Serangan
perwira Mataram itu sudah benar-benar mengancam jiwanya. Kombinasi pukulan
dan tendangan geledek itu benar-benar membuat Raden Pekik kerepotan.
Kemanapun ia bergerak, tangan dan kaki itu sudah di depan matanya. Bahkan
satu dua tendangan sempat mendarat di perut dan punggungnya. Kini kedua kaki
dan tangan perwira Mataram itu mengincar lehernya.
Tentu saja Raden Pekik tak ingin lehernya putus oleh cakaran lawannya. Pada
saat yang sangat kritis, ia melompat panjang ke belakang. Bagi para prajurit
Mataram rendahan dan pengikut Suro Brewok, gerakan pemuda itu tampak seperti
orang sedang terbang. Pukulan dan tendangan perwira Mataram itu mengenai
tanah kosong. Bunyi gedebumnya segera terdengar dan diikuti berseraknya
tanah dan batuan kerikil yang terlempar. Dengan manis Raden Pekik mendarat
beberapa tombak dari lawannya.
"Kenapa kau? Takut?" tanya perwira Mataram itu mengejek.
Yang ditanya tidak segera menjawab. Ia sedang berpikir keras mengingat-ingat
semua gerakan lawannya. Itulah jurus pertama ilmu yang diajarkan Eyang
Buyutnya. Merekam gerakan lawan, mencari titik lemahnya, dan menyerang balik
dengan jurus yang digunakan lawan.
"Kalau aku takut, apakah sekarang masih berdiri di depan tuan?" balas Raden
Pekik dengan pertanyaan.
"Jadi?"
"Tunggu saja sebentar lagi," jawab Raden Pekik. Selesai mengucapkan kalimat
itu, Raden Pekik menyilangkan tangannya di depan dada, kakinya merapat
lurus, dan matanya terpejam. Tak lama kemudian, terlihat pemuda itu berputar
dengan cepat, badannya terangkat ke angkasa. Semua orang melihatnya dengan
kagum. Tak terkecuali Suro Brewok dan putrinya. Sebaliknya, perwira Mataram
itu memperhatikan gerakan Raden Pekik dengan penuh curiga.
Tubuh kecil itu terus bergerak ke atas. Ketika mencapai ketinggian pohon
yang tertinggi di hutan itu, tiba-tiba tubuh itu meluncur ke bawah dengan
cepatnya. Dari kedua tangan pemuda itu terlontar puluhan jarak jauh ke arah
perwira Mataram. Ketika tubuh pemuda itu mendekati tanah, kedua kakinya
menerjang lawannya dengan sangat ganasnya. [58]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar