atau hari ke 18 demo tuntutan mundur di Tahrir Place, sekali lagi,
kami meyaksikan stunami politik di wilayah magreb mediterania.
Beberapa waktu yang lalu, seingat kami hari kamis malam waktu Uni
Eropa, kami pernah memposting ke kahmi pro detik-detik keruntuhan
rezim Ben Ali di Tunisia. Diktator peringkat ke IV pada oktober 2009
dari top 10 dictator versi yahoo.fr. Kali ini, le tremblement de
terre politique (gempa bumi politik) justru menimpa peringkat ke 10,
Hosni Mubarak peraih 88.6% suara di tahun 2005. Sebenarnya, sejak
saat itu, beliau sudah meyadari bahwa 77% rakyat Mesir kehilangan
kepercayaan padanya, karena hanya 23% rakyat Mesir berpartisipasi
dalam pemungutan suara.
Namun, karena euforia kemenangan selama tiga kali berturut-turut pada
1987, 1993, 1999 dengan 95% perolehan suara dan asyik melayani
kepentingan bangsa lain, maka kebosanan rakyat Mesir diabaikan begitu
saja olehnya. Di dalamnya, termasuk keberatan Ayman Nur, seorang
pengacara muda usia 40 tahun saat itu, berasal dari partai Ghad,
partai oposisi yang hanya meraih 7% suara yang sebenarnya berdasarkan
perhitungan jujur justru empat kali dari jumlah itu.
Efek Domino di Timur Tengah
Tunisia dan Mesir merupakan le théâtre de marionnettes (wayang
golek) nya Amerika dan Uni Eropa menurut beberapa kawan-kawan asal
wilayah magreban. Kawan-kawan bangsa Arab memang mempunyai watak yang
keras tetapi sangat ulet dalam berdagang, studi dan sangat menyayangi
sesama muslim dan melindungi minoritas.
Kehilangan harga diri membuat mereka berontak apalagi diperangi oleh
rezim berkuasa yang tidak lain saudara mereka sendiri untuk
kepentingan layanan bangsa lain. Itulah pengakuan tulus kawan-kawan
asal negeri magreb.
Hampir semua kawan-kawan Tunisia mengakui, selama ini CIA telah lama
bercokol di bumi Tunisia membantu dinas rahasia Tunisia melanggengkan
kekuasaan Ben Ali. Namun, setelah Ben Ali hengkang, Amerika dan
Prancis sebagai sohib kental berpaling darinya dengan tidak
memberikan suaka politik.
Di Mesir, kejatuhan rezim Mubarak tidak hanya didukung oleh kaum muda
muslim, tetapi kekecewaan kaum minoritas seperti les coqs (minoritas
kristen ortodoks Mesir) yang selama ini terlindungi di kalangan
mayoritas muslim Mesir. Namun mereka kecewa setelah awal tahun baru
lalu, mereka menjadi korban pemboman di Alexandria disaat ibadah,
Mubarak tidak dapat berbuat apa-apa.
Menurut kami, korban demokrasi berikutnya di tanah magreb adalah
Aljazair. Negeri ini, saat ini dipimpin oleh, Abdelazis Bouteflika,
73 tahun yang tua renta. Ia terpilih untuk ketiga kalinya pada
putaran pertama, 9 April 2009 dengan perolehan 90.2% suara, lebih
besar 5% dari pemilu 2004 dengan perolehan suara 85%.
Walaupun diboikot oleh partai oposisi, namun partisipasi hingga 74%
patut juga dipertanyakan karena, jelas sekali terlihat di layar kaca,
bagaimana Bouteflika dengan arogan menantang rakyat Alzajair "votez
contre nous, votez même avec un bulletin blanc, mais votez"
jangan coblos partai kami, coblos walaupun dgn kartu suara kosong,
tetapi coblos, saat mengalamatkan discoursnya ke masyarakat Aljazair
di pesisir selatan Prancis yang memang dominan.
Ini terlihat walaupun luput dari perhatian dunia, unjuk rasa
kekecewaan rakyat Aljazair terjadi bersamaan dengan unjuk rasa rakyat
Tunisia yang memaksa Aljazair menutup sementara perbatasannya dengan
Tunisia.
Kami termasuk orang yang tidak percaya dan harus berhati-hati menanti
kejatuhan rezim Bachar El-Assad yang dikampanyekan media barat yang
akan tertimpa efek domino revolusi jasmin dalam waktu dekat ini.
Bachar yang berpindidikan Inggris mewarisi kekuasaan ayahnya saat
kematian mendiang Hafez El-Assad pada tahun 2000.
Saat itu, beliau sedang studi dan berusia 45 tahun. Beliau termasuk
presiden termuda di timur tengah. Saat beliau menggantikan ayahnya,
beliau memperoleh suara 97.29% rakyat Syiria di tengah boikot
oposisi. Pada 2007, beliau terpilih lagi dengan perolehan suara 97.6%
suara untuk masa 7 tahun kedua.
Syiria adalah batu kerikil Amerika di Timur Tengah yang dicoba
didongkel melalui partai oposisi, tetapi selalu gagal. Perdamaian
dengan Israel hanya dapat terwujud apabila Israel menyerahkan
Jerusalem ke Palestina dan dataran tinggi Golan milik Syiria.
Kami justru menanti efek domino menuju ke Djibuti, negara kecil bekas
jajahan Prancis di pesisir laut merah. Negara ini merupakan super
marionette, wayang goleknya Prancis, karena sejak lama menjadi markas
militer Prancis dengan menempatkan kapal induk nuklir Charles de
Gaulle di wilayah ini seperti markas militer Prancis di Dubai.
Djibuti merdeka dari Prancis pada 1977. Ismail Omar Guelleh berkuasa
di Djibuti setelah menggantikan pamannya, Hasan Gouled Aptidon yang
berkuasa pada periode 1977-1999. Pada pemilu, 8 April 2005, beliau
terpilih 100% perolehan suara, setelah lawan politiknya, Mohammad
Daoud Chelem mengundurkan diri dengan alasan tidak punya uang untuk
membiayai kampanyenya. Namun, Omar Guelleh, tidak dapat lagi
mencalonkan diri bagi periode 7 tahun ketiga.
Efek Domino ke Asia Tengah
Kami justru saat ini menanti juga aroma parfum jasmine menyebrang ke
wilayah Asia Tengah tepatnya ke Turkmenistan dan Kazakhstan. Negara
bekas satelit Uni Sovyet di Asia Tengah ini memang didominasi
penduduk beragama Islam. Turkmenistan saat ini dipimpin oleh presiden
Gurbanguly Berdimuhamedow terpilih pada pemilu 2007 mengalahkan 5
kandidat lain sepeninggalnya Saparmyrat Nyyazov pada 2006 dengan
perolehan suara mencapai 95% di bawah pengawasan wakil internasional
asal Amerika dan Rusia.
Negara penghasil gas alam tersebut termasuk negara yang ingin cepat
bertransformasi menuju sektor jasa. Hal ini terlihat dengan
pengembangan besar-besaran di sektor pariwisata di tepi laut kaspia
telah menjadi tujuan utama turis Uni Eropa saingan Istanbul. Namun,
pemilu tersebut tercoreng oleh ulah pemerintah yang mengancam
penduduk provinsi Lebap yang golput tidak akan memperoleh subsidi
bulanan gandum.
Disamping itu, penduduk yang pertama kali tiba di TPS apalagi seorang
lanjut usia diiming-iming memperoleh kado yang ternyata berisi buku
tentang biografi mendiang presiden Nyyazov. Sedangkan Kazakhstan,
hingga saat ini hanya mempunyai satu-satunya presiden, Noursoultan
Nazarbaïev. Pada 2005, beliau terpilih lagi sebagai presiden di
bawah pengawasan organisasi keamanan dan kerjasama Uni Eropa yang
keberatan karena tidak mengikuti norma internasional.
Namun, sekali lagi, Uni Eropa dan Amerika tutup mata atas hasil yang
membawanya mencapai 91.15% suara. Presiden dengan usia, 70 tahun ini,
baru saja memindahkan ibukota Negara dari Almaata ke Karaganda dengan
alasan yang belum jelas.
Amerika dan Uni Eropa memujinya sebagai negara bekas Uni Sovyet yang
maju tentu karena daya tarik migas walaupun sebenarnya pemerintahan
Nazarbaïev terkena skandal Kazakhgate akibat beberapa anggota
kabinetnya dan disinyalir termasuk beliau menerima uang suap dari
petinggi Exxon Mobil Oil Company agar mendapatkan konsesi eksplorasi
migas. Di samping itu, Nazarbaïev bersahabat erat dengan Nikolas
Sarkozy, yang memberikan keleluasan pada Total France melakukan
eksplorasi migas di Kazakhstan.
Sebelum pemilu, lawan politiknya, Namanbek Nukardilov terbunuh di
rumahnya dengan dua peluru bersarang di dadanya dan sebuah di kepala,
yang menurut hasil penyelidikan pihak berwajib Kazakhstan, merupakan
bunuh diri karena alasan konflik familial seperti yang sering terjadi
di Asia Tengah dan Turki.
Efek domino ke Afrika
Pada 38 negara Afrika Francophone, terdapat beberapa negara yang
masih senang saja berkuasa atas mewariskan kekuasaannya pada
keturunannya sesuku. Lihatlah Chad, Niger, Republik Afrika Tengah,
Kamerun, Pantai Gading dengan dua presiden (Laurent Dbagbo asal
selatan dan Lassane Ouatarra asal utara yang muslim), Gabon dan
Madagaskar.
Menurut kami, Teodore Obiang Nguema Mbasogo, presiden Guinea Aquator
merupakan sasaran berikutnya efek domino jasmin. Presiden yang naik
tahta setelah mengkudeta pamannya sendiri pada 1979, termasuk yang
terlama, 32 tahun. Beliau terpilih untuk kelima kalinya pada dengan
suara yang sedikit menurun daripada pemilu 2002 yaitu 95.4%.
Sedangkan 2002, beliau memperoleh 97%. Human Right Watch
menggolongkan beliau termasuk diktator yang represif dan berperilaku
buruk di dunia karena menggunakan uang hasil minyak untuk mengekalkan
kekuasaannya. Jurnalis Peter Maass mengkategorikannya dalam slate.com
sebagai diktator paling represif di tahun 2008.
Seperti halnya, Hosni Mubarak menyiapkan Gamal Mubarak sebagai
penggantinya, Nguema juga menyiapkan putranya Teodorin sebagai
penggantinya kelak di tengah kanker prostat dan jantung koroner yang
menderanya di usia 68 tahun.
Prancis sebagai bekas penjajahnya sepertinya tutup mata lagi atas
keadaan di negeri ini, tentu karena negara ini sebagai produsen
minyak ketiga di wilayah Afrika Subsahara seperti tetangganya Gabon
dipegang oleh Ali Bongo, setelah wafatnya ayahnya yang mualaf Omar
Bongo di Barcelona, pada 2009 setelah 40 tahun berkuasa.
Pelajaran buat Indonesia
Pelajaran pertama, jangan pernah menggadaikan martabat bangsamu. Jika
hal ini terjadi apalagi sampai-sampai harta benda bangsa menjadi
colateral oleh bangsa lain, maka ini akan menjadi the bubble yang
sewaktu-waktu akan meledak tanpa kita perkirakan. Ini yang membuat
kaum muda Afrika magreban memberontak, apalagi menjadi le téâtre de
marrionnettes, hanya sebagai pion bangsa lain. Adapun masa depan
suram, pengangguran hanyalah efek kesekian dari penguasaan the crony
capitalism.
Pelajaran kedua, khususnya pemerintah maupun kawan-kawan yang hendak
mencalonkan diri pada pilkada adalah jangan pernah lagi ada
penggusuran dan penyitaan gerobak dagangan sektor informal.
Meledaknya kemarahan kaum muda Tunisia diakibatkan oleh pemandangan
yang langka di Tunisia atas disitanya gerobak dagangan Mohammad
Bouazizi yang di Indonesia menjadi langganan tetap operasi disbun dan
satpol PP. Ironis memang, karena di malam hari saat pemakaman,
Mohammad Bouazizi, Ben Ali justru menghadiri ritual tersebut.
Pelajaran ketiga, pada daerah-daerah di Indonesia yang tidak
didominasi industri dan jasa maupun perdagangan, dan tanpa penciptaan
lapangan kerja apalagi angkatan kerja di Indonesia telah mencapai
hampir separuh dari penduduk, menjadi PNS adalah impian. Impian
tersebut akan cepat terwujud apalagi pemda dikuasai oleh dinasti dan
klan familial. Bila semua klan telah menguasai, maka tidak ada jalan
lain bagi mereka yang termarginalisasi selain memberontak.
Itu yang terjadi pada Leïla Trabelsi atau Trabelsi family, marga
umum di Tunisia seperti di Sulut dan Sumut, mantan first lady Tunisia
yang sebelumnya seorang coiffeuse (penata rambut) memberikan
keleluasaan penuh terhadap kroni terdekat. Tanpa malu-malu membawa
pergi 1500kg emas milik rakyat Tunisia. Pada akhirnya seorang rekan
kami Mohammed Trabelsi, seorang guru besar di Univ Tunisia terkena
juga dampaknya hanya punya family name yang sama, walaupun beliau
tidak punya kaitan dengan first lady dan politik.
Revolusi Jasmin sebenarnya telah menjadi snowball effect ke negara
lain termasuk ke Prancis, bekas penjajahnya. Michèlle Aillot-Marie
(MAM), menlu Prancis, dituntut mundur oleh 52% rakyat Prancis melalui
survei LCI salah satu stasiun TV berita Prancis yang tayang 24 jam
saingan France24 TV berita Prancis yang berbahasa Ara itu, karena
menggunakan jet pribadi salah satu kroni Ben Ali ketika berlibur
akhir tahun di Tunisia.
François Fillon, PM Prancis, dituntut mundur oleh oposisi karena
menggunakan pesawat militer suruhan Mubarak saat beliau liburan akhir
tahun dan bertemu Mubarak di Sharm El-Syeik, daerah wisata Mesir di
tepi laut merah di mana Mubarak mengasingkan diri sekarang. Mudah-
mudahan beliau terhindar dari serangan hiu harimau yang memang gemar
menyerang turis yang tengah berlibur di wilayah tersebut.
*Anggota Middle East Economist Association (MEEA) dan PhD Student
CEMAFI Nice University Sophia Antipolis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar