Rabu, 19 Januari 2011

Pemimpin By Design

Ini hanya sekedar melaksanakan petuah Al Ustadz Prof Komaruddin Hidayat, menulis untuk melepas stress. So, btw, dsb, nggak usah dibikin serius kalau kadar ilmiahnya kurang, dan hanya tjotjok sebagai bahan diskoesi di waroeng-waroeng kopi...
Monggo, selamat menikmati, ketikan saya ini.
ALFAN ALFIAN=========================

SEPUTAR INDONESIA, 11 JANUARI 2011 Pemimpin By Design  M Alfan AlfianDosen FISIP Unas, Penulis Buku Menjadi Pemimpin Politik      Misalnya
tiba-tiba Anda mendadak jadi pemimpin, dan tidak main-main, jabatannya
presiden di sebuah negara nyata (bukan antah-berantah). Bagaimana
perasaan Anda? Mungkin agak sesak menerima "tugas mendadak "itu,sebab
dalam sekian detik Anda harus menyiapkan mental kesadaran baru bahwa
mulai detik itu tanggung jawab menjadi berlipat. Anda
harus melakukan percepatan adaptasi ke dunia baru seperti Alice yang
sedang menemukan dunia baru bernama Wonderland dalam novel klasik Alice
in The Wonderland karya Lewis Caroll (1865). Bagi pemimpin yang pola
kehadirannya by accident (ujug-ujug), bukan by design (dipersiapkan
sedemikian rupa), jelas percepatan adaptasi itu bisa persoalan sangat
menyusahkan.Kecuali barangkali Petruk dalam kisah pewayangan kreasi para
dalang Jawa dalam lakon Petruk Menjadi Raja. Betapa by
accident benar Petruk itu,bahwa entah disebabkan oleh apa, siapa, dan
mengapa, punakawan yang "rakyat jelata" itu "mendadak (jadi) raja"—kalau
sistemnya demokratis, "mendadak (jadi) presiden". Apa yang dialami
Petruk bukan tak mungkin dapat terjadi pada Anda, lebih-lebih apabila
sel darah merah Anda punya runtutan ke dinasti politik tertentu. Petruk
tak merasa direpotkan oleh percepatan adaptasi mengingat dia langsung
melompat ke wilayah penggunaan kekuasaan secara pokoknya. Dia
tak perlu merasa resah dan repot untuk menumbuhkan kesadaran bahwa
Petruk sekarang adalah pemimpin, melainkan dia dapati dirinya sebagai
raja yang bisa semau-maunya.Kemudian, yang terjadi adalah adegan-adegan
yang fatalistik. Petruk yang tidak dikenal punya kualifikasi
kepemimpinan yang andal itu melakukan tindakan-tindakan ngawur dan penuh
akrobat, negara pun acak-acakan, merosot, alih-alih melejit menjadi
superpower. Kisah itu memang penuh hikmah, tapi cenderung
menggiring ke kesimpulan bahwa seyogianya pemimpin itu dinastik,
genetika kepemimpinannya harus jelas dan tak boleh sembarangan. Kalau
diserahkan ke Petruk, sungguh celaka, karena ia bukan dari golongan
bangsawan, bukan priyayi pemimpin. Jadi bisa tersesat pada kesimpulan
bahwa rakyat tidak boleh jadi pemimpin.Bahaya. Namun,
tentu logika pemimpin harus bangsawan tertolak oleh demokrasi.
Ndoro-isme mestinya tak laku di alam demokrasi. Justru sebaliknya,
fenomena politik dinasti dalam tradisi demokrasi lebih sering
diapresiasi kurang begitu positif oleh banyak kalangan.Apalagi kalau
yang muncul dan terpilih adalah sosok dinastik yang kurang berkompeten.
Tentu hal itu langsung dicap sebagai sebuah accident. Tapi
tidak semua fenomena politik dinasti di dunia ini berpola by accident,
banyak yang dikelola secara by design. Sosok dinastik punya
ancang-ancang popularitas yang seringkali melebihi sosok
konvensional.Dalam sistem demokrasi yang populer tetap akan menghadapi
konsekuensi hukum selanjutnya,yakni apa yang sering dilontarkan oleh
juru-juru bicara lembaga-lembaga polling sebagai "tingkat keterpilihan"
alias elektabilitas. Sosok dinastik yang berlebihan popularitas akan
dapat terpuruk pula manakala kurang elektabel. Kursus Singkat Jadi Presiden Dalam
sistem politik kerajaan, elektabilitas tidak dibutuhkan. Sebab,
legitimasinya dinastikmonarki, bahwa raja selalu aktual, tak sekadar
simbolik.Ketika sang raja aktual itu mangkat,maka sang putra mahkota
pantang menolak menggantikannya—betapapun sang putra mahkota tak punya
hobi alias bakat kepemimpinan. Kita ingat Pu Yi yang
dipaksakan dalam perguliran suksesi kekuasaan yang dinastik Kekaisaran
Tiongkok. Kasus Pu Yi contoh nyata pemimpin by accident. Kaisar ke-12
Dinasti Qing alias The Last Emperor ini naik ke singgasana (1908) saat
masih jabang bayi yang belum mengerti apa-apa, berusia dua tahun. Pada
1911 Sun Yat Sen melakukan revolusi mengakhiri era kekaisaran Tiongkok
yang telah eksis selama lebih dari 2000 tahun. Kasus yang
masih agak hangat, pernah diangkat Majalah National Geographic belum
lama ini, adalah naiknya pemimpin dinastik Bashar al-Assad. Suatu pagi
pada 1994, telepon berdering di apartemen sewaan Bashar di
London.Dia,dokter yang mendalami oftalmologi (ilmu tentang penyakit
mata) yang baru berusia 28 tahun itu mendapat kabar bahwa kakaknya
Bashil al-Asaad tewas. Bashar dipanggil pulang. Pada Juni 2000, ayahnya,
Hafez al-Assad, meninggal dunia.Tak lama setelah pemakamannya, Bashar
menduduki kantor ayahnya. Dia menggantikannya sebagai
Presiden Republik Arab Suriah.Walaupun republik, pola kepemimpinan
Suriah dinastik, negara itu menganut sistem presidensial di bawah hukum
darurat 1963. Tak seperti Pu Yi,Bashar punya kesempatan untuk belajar
mempercepat adaptasi kepemimpinan. Percepatan adaptasi ini tentu sangat
didukung oleh penumbuhan kesadaran yang mendalam bahwa menjadi pemimpin
itu tidak semata- mata teknis. Hal-hal yang teknis dapat
dipelajari seperti ketika kita ikut kursus-kursus singkat pelatihan
kepribadian, tata cara formalitas kenegaraan,pencitraan ini dan itu, dan
sebagainya.Tapi, sungguh, yang teknis saja tidak cukup mampu untuk
menopang daya pikat dan kesejatian pemimpin. Perihal teknis itu seperti
prosa, sedangkan Presiden Nixon pernah menulis, pemimpin itu puisi. Puisi
itu tak semata-mata teknis,melainkan substantif dan butuh improvisasi
dalam berkomunikasi dengan siapa saja.Pemimpin itu inspirator,
motivator, dinamisator, sekaligus seniman pula. Namun, pemimpin juga
harus seperti prosa: gagasannya jelas, perintah dan kebijakannya jelas,
sehingga yang dipimpin tidak terbiarkan menghadapi situasi
abstrak—seabstrak puisi. Gaya kepemimpinan dapat sangat menentukan
seorang pemimpin aktual efektif atau tidak. Setan Gundul dan Pencerdasan Pemilih Dalamdemokrasi,apakahmungkin
pemimpin by accident bisa hadir? Mungkin, bahkan sangat mungkin.
Pilihan kolektif sangat dipengaruhi oleh persepsi.Tidak semua persepsi
publik identik dengan pilihan obyektif, tetapi bahkan dapat sangat
subyektif. Dalam logika filsafat yang sederhana dikatakan, kebenaran
orang banyak itu belum tentu mencerminkan "kebenaran sejati"––atau yang
mendekati "kebenaran sejati". Pemimpin yang hadir melalui
mekanisme demokrasi elektoral bisa merupakan sosok yang ditopang oleh
mesin-mesin sistematis pemobilisasi persepsi. Para juru bicara lembaga
polling sering memberi jurus dan rumus bahwa calon perlu dikenali,
lantas digenjot elektabilitasnya. Semua itu butuh sentuhan teknis dan
rekayasa.Tidak ada yang salah dari jurus dan rumus itu,tentu dari
perspektif marketing politik. Dari sisi etis,mungkin banyak catatan
mengingat setiap langkah perekayasaan berpotensi pengelabuan alias
penyimpangan. Politik adalah seni mempengaruhi agar
gagasannya laku, sosoknya didukung. Dulu almarhum Nurcholish Madjid
pernah mengatakan, dalam demokrasi, bahkan setan gundul pun berpeluang
terpilih.Kalau memang setan gundul yang merupakan metafora sosok
superjahat terpilih secara demokratis, maka peristiwa demikian dapat
disebut sebagai kecelakaan atau tidak? Kalau tiba-tiba muncul calon
ultranasionalis yang didukung secara mayoritas, bagaimana? Yang
"salah" sang ultranasionalis atau para pendukungnya? Kalau tibatiba
muncul calon yang dari banyak sisi kurang kompeten dan jauh dari
kepantasan, nyatanya didukung secara mayoritas,terus mau apa? Kita
sepakat,untuk urusan memilih pemimpin, semestinya jangan sampai salah.
Proses pencerdasan perlu terus ditingkatkan. Tapi, kalau
semua pihak ingin ada pemimpin yang mampu atau berkompeten, maka itu
semata-mata bukan urusan rakyat. Bukankah rakyat hanya disodori
pilihanpilihan yang seringkali dilematis? Dari sisi ini partai-partai
politik (selama belum ada calon independen) memiliki peran dan tanggung
jawab yang tinggi terkait dengan lebarnya peluang mereka untuk
mengajukan calon-calon pemimpin lembaga-lembaga formal yang memerlukan
legitimasi elektoral. Partai-partai politik kita, bagaimana?(*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar