Minggu, 24 Januari 2010

Renungan Minggu Dini Hari

 

Pak Soma

 

Oleh Arief B. Iskandar


Panggilannya Pak Soma. Usianya sekitar 60-an. Saya pertama kali mengenalnya sejak pindah rumah ke kampungnya, persis dekat rumahnya. Saat itu kami berdua sama-sama menunaikan shalat magrib berjamaah. Dari guratan wajahnya, ia tampak seorang yang tegar.

Awalnya, saya melihat Pak Soma biasa-biasa saja. Memang, ada satu hal yang membuat siapapun trenyuh. Ya, ini karena secara fisik Pak Soma bukanlah manusia sempurna. Ia seorang yang cacat. Salah satu kakinya buntung dan hanya tinggal seperempatnya. Karena itu, kemana-mana ia bergantung pada kedua tongkatnya.

Sebetulnya ada banyak orang yang senasib dengan Pak Soma. Namun, mungkin tidak banyak orang cacat yang taat beribadah, termasuk tak pernah ketinggalan shalat lima waktu secara berjamaah di masjid, seperti Pak Soma. Padahal jarak rumahnya ke masjid cukup jauh, hampir setengah kilometer. Yang membuat ia semakin luar biasa, dengan melepas tongkatnya, ternyata ia shalat tetap sambil berdiri, tentu dengan satu kaki. Ia tidak pernah shalat sambil duduk. Bayangkan, dalam salat berjamaah di masjid itu, berdiri dan rukuk satu rakaat saja Pak Soma kadang membutuhkan 2-3 menit, apalagi imamnya ternyata bacaannya sering panjang-panjang. Belum lagi ia dikenal rajin melakukan shalat-shalat nafilah dan shalat-shalat sunnah lainnya: tahajud, dhuha, hajat, dll; juga dengan satu kaki.

Saat saya tanya, mengapa tidak salat sambil duduk saja, toh secara syar’i dibolehkan karena ada uzur. Apalagi berdirinya Pak Soma dalam shalat juga kadang tidak selalu stabil; kakinya tampak sering bergetar dan goyah, terutama saat harus berdiri agak lama. Namun, dengan mantap Pak Soma menjawab.

“Saya ingin, kepayahan saya dalam mendirikan shalat menjadi bukti kesungguhan saya dalam beribadah kepada Allah, yang akan saya tunjukkan saat menghadap kepada-Nya di Akhirat kelak.”

Subhânallâh! Betapa luar biasanya kata-katanya yang sebetulnya sederhana ini. Bagaimana tidak! Di tengah-tengah kebanyakan orang saat ini ingin mencari berbagai kemudahan, termasuk dalam ibadah, masih ada orang yang menempuh ’jalan kepayahan’. Pak Soma adalah salah satunya.

Yang semakin membuat saya takjub, ternyata Pak Soma harus kehilangan satu kakinya juga karena ia menempuh ’jalan kepayahan’ itu. Saat itu, sekitar sepuluh tahun lalu, sambil berlari secepat kilat, ia berupaya keras menyelamatkan seseorang yang hendak tersambar kereta api. Ia berhasil, meski harus dengan berguling-guling. Namun, ia gagal menyelamatkan dirinya dan harus kehilangan satu kakinya karena tersambar oleh kereta api tersebut.

@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

’Jalan kepayahan’ sebetulnya merupakan tradisi para salafush-shâlih. Bahkan jalan inilah yang sejak awal selalu dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw. dan para Sahabat beliau. Baginda Rasul, misalnya, dikenal selalu melewati malam-malamnya dengan shalat malam. Dalam banyak riwayat ditegaskan, kaki beliau sering bengkak-bengkak karena seringnya beliau berdiri lama dalam shalat-shalat malamnya. Saat Ummul Mukminin Aisyah ra. bertanya, mengapa beliau sampai harus bersusah-payah seperti itu, padahal beliau ma’shûm (terpelihara dari dosa), sambil tersenyum beliau malah balik bertanya, “Wahai Aisyah, tidak sepantasnyakah aku menjadi hamba yang bersyukur kepada-Nya dengan semua itu?” (HR al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).

Tentu tidak hanya dalam beribadah. ’Jalan kepayahan’ itu pula yang ditempuh Baginda Rasulullah saw. dalam sebagian besar episode dakwahnya. Betapa sering beliau ’memilih’ untuk dicibir, dihinakan, dicaci-maki, dilempari dengan kotoran dan batu, bahkan tak jarang diancam untuk dibunuh sebagai konsekuensi dari kesungguhan dan keistiqamahan beliau dalam dakwahnya. Saat orang-orang kafir sudah hampir putus-asa menghalangi dakwah, melalui Paman beliau, mereka kemudian menawari beliau harta yang banyak, kedudukan yang tinggi, juga wanita-wanita cantik terpilih. Namun, semua itu tak membuat hati beliau luruh sedikit pun. Beliau tetap bergeming. Yang terucap dari lisan beliau yang mulia malah sebuah kalimat terkenal, “Paman, andai mereka sanggup menaruh matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan (dakwah) ini, aku tidak akan pernah melakukannya, hingga Allah memenangkan agama-Nya atau aku mati karenanya.” (HR Ibn Hisyam).

’Jalan kepayahan’ pula yang ditempuh oleh para Sahabat beliau. Bilal bin Rabbah, misalnya, dalam keadaan punggungnya telanjang tanpa baju, rela dijemur di atas pasir, di bawah terik matahari yang menyengat, lalu ditindih dengan batu. Yasir rela dijerat lehernya dan Sumayyah (istrinya) rela tubuhnya ditusuk dengan tombak hingga keduanya harus kehilangan nyawanya. Mushab bin Umair rela meninggalkan harta dan kemewahan serta memilih hidup menderita. Hampir semua Sahabat Rasulullah saw. tak ragu untuk ’menggadaikan’ sebagian besar (bukan sebagian kecil) waktu, tenaga, harta bahkan nyawa mereka. Semua ’jalan kepayahan’ ini mereka tempuh tidak lain demi dan untuk dakwah.

Bagaimana dengan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar